ARNOLD CLEMENS AP DAN HAM (4)
*) Yunus G Adijondro
Yang berikut negara dipahami sebagai sebuah keluarga, dalam arti sesungguhnya. Karena negara identik persis dengan keluarga, maka konflik di haramkan demi tegaknya harmoni keluarga. Hubungan bapak dengan anggota keluarga lainnya berlangsung dalam suasana tentram penuh keakraban. Bapak tidak pernah berbuat salah, ia selalu bijaksana. Atau kalau pun membuat kesalahan, segera saja dimaafkan. Sebab bagaimanapun, dia adalah orang tua sendiri. Keadaan ini pula yang diperlakukan pada Presiden Soeharto. Tidak
usah dikritik bahkan tidak perlu diganti jabatannya oleh orang lain. Ia boleh tetap di posisinya sampai meninggal dunia. Kesalahan konsep itu berdampak pada pelecehan terhadap HAM di negeri ini. Memperjuangkan HAM, sama saja dengan melawan sopan-santun dan merusak harmoni keluarga besar
Agustina Arongaer:
Penjelasan yang menarik dari Pak George tentang kasus Arnold Ap dan kasus-kasus lainn yang kadang menyakitkan hati, sudah kita ikuti kasus-kasus penyepelean hak ini, kalau terus dipendam, bisa berdampak peledakan emosi. Pertanyaan saya. Apakah yang diinginkah oleh mereka yang selalu menekan HAM di Papua Barat? Kita sudah cukup mengabdi kepada pemerintah melalui pogram-program pembangunan yang diturunkan ke daerah.
Kristian Torey:
Di Papua Barat, memang agak susah berbicara secara bebas, sebab tuduhan sebagai anggota atau simpatisan OPM, dari awal sudah disiapkan. Sebagaimana tadi sudah disampaikan. Dalam hal, ada orang luar datang mewawancarai penduduk setempat, dimana pihak yang diwawancarai terpaksa berurusan dengan pihak keamanan. Berbeda dengan si pewawancara yang mungkin sedikit lebih leluasa. Sebagai orang yang cukup banyak mengikuti persoalan HAM di Papua, bisakah Bung George memberikan usulan tentang strategi yang cocok untuk memperjuangkan HAM di Papua tanpa menanggung risiko mendapat cap OPM?
Willem Wakum:
Kalau kita mengamati sepak-terjang tentara di Papua Barat selama ini, banyak orang yang ditangkap dan ditahan tanpa sebab. Artinya, entah orang-orang yang bersangkutan terlibat atau tidak dalam suatu kegiatan yang sifatnya politis. Tindakan-tindakan semacam ini, adakah hubungannya dengan azas praduga tak bersalah?
Ir. Ferry Karwur:
Saya agak bingung mengenai bagaimana membedakan suatu komunikasi yang sifatnya tawar-menawar dalam konsep demokrasi dan suatu tindakan yang memiliki tujuan atau punya keinginan membentuk apa yang menjadi sasaran atau suatu masyarakat sesuai dengan pikiran (frame of mind) kita.
Yosef Rumaseb:
"ada seorang Paniai yang mencoba meminang wanita
ikut melanggar hak-hak asasi dari suku-suku lainnya. Tapi itu tidak disebutkan oleh Pak George. Saya anggap ini penting, agar kita tidak terlalu terjebak untuk menuding ABRI, sehingga lupa diri bahwa kita pun menghilangkan hak-hak asasi saudara-saudara kita sendiri yang sejajar dengan kita. Barangkali, ini sekaligus menyadarkan kita agar mawas diri. Tidak hanya menuding pihak lain.
Drs. Melky Huke:
Sekedar menambah komentar Yosef. Pelanggaran hak asasi manusia yang paling berat di Asmat, terjadi di era kepemimpinan Camat Ombret, orang Muyu, dan Camat Rumbrar, orang
GJA:
Tadi saya banyak gambarkan ABRI sebagai satu contoh dari kekuasaan fisik.
dengan dibunuhnya Pastor Smith oleh Camat Fimbay, orang Bintuni. Jadi saya setuju bahwa kita tidak single out ABRI sebagai institusi, tetapi berbagai macam aparat kekuasaan.
Kedua, yang arasnya lebih tinggi, yaitu pelanggaran hak asasi karena hal-hal yang sifatnya idiologis, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya. Adanya anggapan bahwa makin hitam satu suku, makin rendah kedudukannya dalam, katakanlah evolusi maupun hirarki manusia. Ini satu permasalahan yang universal, bukan hanya di
seseorang, makin dekat dia dengan dewa. Makin hitam seseorang, makin sah untuk dia diperlakukan sebagai binatang. Selama ini kita tidak pernah bicara secara telanjang bahwa di
perbedaan antara non-Tionghoa dan Tionghoa, atau antara pribumi dan non-pribumi. Tapi adanya rasialisme berdasarkan warna kulit, selama ini ditutup-tutupi, kita peroleh berbagai contoh dan pengaruh dari impor budaya wayang. Dalam wayang diceritakan tentang kontradiksi antara kesatria dan Bhuto atau raksasa. Maka orang-orang yang raksasa mendapatkan gambaran sebagai orang-orang yang bengis atau jahat. Kita masih ingat dulu, bagaimana seorang Wasdi di Jakarta di hukum hanya karena jelek. Karena
berwajah jelek dan menakutkan, dia dicurigai hendak menteror seorang ibu. Padahal Wasdi ini mencari duit dari menjadi pembawa barang orang belanja di Pasar Senen. Saya masih ingat komentar kawan saya, Policarpus da Lopez, yang kebetulan orang
Yang juga sifatnya idiologis adalah penggambaran yang banyak kita temui tentang Papua Barat sebagi wilayah yang kosong, hampir tidak ada penduduknya dan betapa potensi-potensi sumber daya alam di
bagimana orang Balim memanfaatkan sumber daya alamnya, itu sudah sangat optimal. Bahkan diakui oleh Pak Tjahyadi (dosen Fakultas Biologi UKSW -- GJA). "Produktivitas ubi-ubian di lembah Balim termasuk tertinggi di
Lalu, di mana daerah di Papua Barat yang tidur dan konsep tidur itu dalam hal apa? Apakah dalam arti buldozer, membangun PLTN? Ataukah dalam arti bagimana penduduk setempat memanfaatkan sumber daya alamnya secara optimal, di samping lestari. Boleh jadi, dalam tulisan-tulisan anda, anda pun ikut mereproduksi istilah-istilah itu. Ini membuktikan bagaimana kuatnya penjajahan idiologis. Termasuk di sini anggapan bahwa hak untuk merdeka itu merupakan suatu hal yang terlarang. Karena Republik
Mohammad Yamin.
Hindia Belanda juga begitu. Kemarin saya tegur Buyung, saya bilang, kita mempertahankan Papua Barat, karena Papua Barat adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena Tidore (kesultanan Tidore) mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai dengan Teluk Yotefa mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum merasa otomatis mendapatkan hak atas jajahan Tidore? Belanda mundur,
Sejak kapan berbagai daerah di Papua Barat tersubordinasi (takluk) di bawah Kesultanan Tidore? Apakah hanya karena orang Biak senang mengimport nama-nama marga, seperti Kapitarauw dan lain-lain dari
Atas dasar itu, klaim bahwa
Tadi ada yang menanyakan, mungkinkah memperjuangkan HAM di Papua Barat tanpa punya sangkut paut dengan OPM? Menurut saya tidak bisa, kalau namanya hak asasi manusia. Dan itu kalau kita tetap berpegang pada ke-30 pasal Deklarasi Universal HAM, di mana salah satu pasalnya adalah hak untuk menentukan nasib sendiri dari daerah-daerah yang sekarang tidak berdiri sendiri. Entah, berupa koloni atau propinsi. Kesempatan tetap terbuka.
Yang tidak boleh adalah orang yang pro-OPM memaksa orang lain untuk juga pro-OPM. Kalau kita menghormati hak berbeda pendapat, maka boleh saja ada orang Papua yang pro-RI, ada orang Papua yang pro-OPM. Juga self determination rights, hak menentukan nasib sendiri. Bisa ditafsirkan ke berbagai kemungkinan. Bahwa kemungkinan itu ada, bisa diukur dari daerah di mana orang lebih bebas berbicara.
Waktu saya masih bertugas di Papua Barat, beberapa kali saya ke PNG. Dan saya bertemu dengan orang-orang Papua Barat yang sudah menetap di
Masih ada lagi orang-orang lain yang mencoba berpikir dalam konsep Melanesia Raya. Semacam Yamin-nya Pasifik. Mereka menghendaki Papua Barat,
Jadi, berbicara soal HAM, berarti kita tetap membuka kemungkinan untuk orang lain juga boleh berbicara soal negara Papua Barat. Itu memang konsekwensi. Sama juga, kita tidak boleh meniadakan -- ini lebih sulit bagi kita yang Kristen -- hak orang untuk berbicara tentang negara Ialam. Dari teman-teman saya yang Islam, persoalan apa itu negara Islam pun, ada sekian banyak interpretasi. Seorang Nurcholis Madjid mengatakan, negara yang
menjalankan prinsip-prinsip Islam, yaitu tunduk kepada Tuhan, itulah sebuah
Negara Islam. Ini aliran hakiki.
Misalnya, hukum potong tangan, apakah itu diatur dalam Qur'an, Hadist ataukah dalam yurisprudensi Arab? Pendapat ini masuk dalam aliran legalistik. Intinya bahwa konsepsi tentang negara Islam harus didiskusikan secara terbuka.
Juga tentang konsep negara
bersenjata, di mana bullet (peluru) menggantikan ballot (kotak suara), itulah hukum sejarah.
Menurut saya, kita harus menumbuhkan demokrasi di
Inilah cara berpikir militer. Saya pernah berdebat sama intel yang dating kerumah saya di Abepura (Jayapura) dia bilang, "Anda harus hati-hati menghadapi ini, menghadapi itu dan segala macam". Saya balik mengatakan, "pak, logika militer dengan logika sipil berbeda!" Dia heran: "Lho, perbedaannya di mana?" Jawab saya: "Militer punya logika, anda harus
mencurigai semua orang sampai terbukti bahwa orang yang bersangkutan bias dipercayai. Logika sipil begini, anda harus percaya semua orang sampai anda "ketanggor" (terbukti bahwa orang yang bersangkutan tidak bisa dipercayai, tidak bisa dijadikan kawan lagi!")." "Oh Begitu!" jawab sang intel. Makanya saya menegaskan lagi: "iya , Bapak dari tadi mengatakan hati-hati pada Yance Hembring, hati-hati sama si ini, hati-hati sama si itu. Mereka itu OPM!" Saya lanjutkan: "Kalau begitu, seluruh orang Papua itu OPM, pak!" Dia
pasti mengganggap saya bukan orang Jawa yang benar, sebab orang Jawa yang benar -- dalam kacamata tentara tadi -- adalah orang Jawa yang patut mencurigai orang-orang papua.
Kalau tidak keliru, Agu tadi menanyakan, "Apakah yang diinginkan oleh pemerintah
Jawabannya itu tadi, yakni fanatisme yang terlalu berpegang bahwa
Persoalannya, darah berbicara di berbagai front. Orang
dosa sakrilegi, yang ganjarannya, dalam bentuk yang paling ekstrim, adalah hukuman mati.
Kedua, orang-orang yang dekat dengan kekuatan-kekuatan ekonomi yang berbasis di Jawa, lebih senang melihat Papua Barat hanya dari kacamata sumber daya alam minus manusianya. Dugaan saya adalah bahwa statistik Papua Barat, selama puluhan tahun sudah dipermainkan. Bahwa jumlah orang Papua cuma sekian. Saya tidak percaya pada statistik itu. Pengamatan saya terhadap salah seorang petugas sensus di
Tapi mitos bahwa Papua Barat itu kosong, hampir tidak ada penduduknya, itu diperlukan karena Papua Barat dipersiapkan sebagai koloni dari sudut ekonomi. Papua Barat diperlukan sebagi daerah kosong di mana bisa menaruh kelebihan penduduk dari Jawa, dan di mana sumber daya alamya bisa diambil. Permainan statistik ini, bukan hal yang baru dalam sejarah.
Jadi Papua Barat diperlukan sebagai koloni dari segi ekonomi, karena strategi pembangunan kita adalah strategi center-periphery. Daerah pinggiran yang menunjang industrialisasi di pusat. Demikianlah, strategi ekonomi kita memang melegitimasikan bahwa Papua Barat harus dikuras. Dan untuk dapat dikuras dengan bebas daerah itu harus dianggap berpenduduk sedikit. Semua hal yang bertentangan dengan ini, dilihat sebagai gangguan dalam kacamata militer. Yang mengganggu sama dengan subversif, dan yang
subversif itu sah untuk dieliminasi. Cara eliminasinya bisa berwujud fisik
atau pun kultural.
Itu yang dianalisis oleh Fanon. Pada saat penjajah tidak bisa lagi meniadakan penduduk jajahannya secara fisik, dia kemudian mengeliminir mereka secara kultural, dengan mengatakan bahwa mereka tidak punya kebudayaan, atau dengan dalih bahwa kebudayaan mereka lebih rendah. Jadi mitos tentang koteka, Zaman Batu dan lain-lain itu, memang sengaja dipupuk karena mendukung cara berpikir penguasa.**