BLACK PAPAS/ PARADISE 0 komentar

Spirit Of Mambesak

Apakah seorang Papua tidak suka kalau sesuatu tak terduga terjadi? Di sebuah negeri yang Asing bagiku, saya sedang berjalan melewati beberapa toko kaset yang sama seperti waktu yang laludan kali ini CD ini tertangkap mata saya: Black Paradise/Papas (Roh Mambesak alias Spirit Of Mambesak).

Mambesak awalnya dibentuk di 70 dan 80 oleh kurator musium Uncen sekaligus seniman multi talenta dari Papua Barat Arnold C Ap dan Eddie Mofu. Mereka memahami pentingnya kebudayaan dan berusaha untuk menggunakan musik sebagai sarana untuk menyampaikan hak dasar manusia: kebebasan berekspresi.

Mambesak dibentuk untuk merevitalisasi tari tradisional Papua Barat, musik dan lagu dan akhirnya memberikan warna tertentu, bentuk dan inspirasi bagi kelahiran kelompok musik dan tari di seluruh Papua, secara aktif mendorong dan memperkuat identitas Papua Barat. Namun, Arnold Ap dan popularitas Eddie Mofu dan kebanggaan sadar untuk menjadi musik Papua Mambesak yang ditimbulkan, membawa mereka ke perhatian militer Indonesia yang menuduh mereka sebagai separatis. Mereka akhirnya dibunuh.

Hari ini, semangat Mambesak bertahan dengan wajah baru dan lagu baru. Album ini dirilis pada tahun 2004. Saya telah menyertakan video dari kelompok bawah. Kelompok ini mengingatkan saya pada kelompok Papua timur (PNG) yang mendukung upaya pembebasan (kedaulatan) Papua barat seperti yang dilakukan George Telek beserta personilnya yang konser di Selandia Baru dalam upaya mengkampanyekan perjuangan teman- teman Papua barat.

WEST PAPUA MUST FREE

MENYANYI DAN MENARIKAN AIRMATA PAPUA 0 komentar

1. Pendahuluan
“Seorang teman di Jawa mengatakan bahwa dirinya bisa menyanyi dan menarikan lagu dan tarian tradisional Papua dengan baik. Ia kemudian melantunkan lagu Apuse dan Sajojo, sambil bergoyang pinggul ala Yospan dengan bersemangat. Baguslah. Tapi saya ingin ia sesekali ke Papua dan menyaksikan betapa Apuse hanya salah satu lagu daerah dari satu suku di Papua yang berjumlah ratusan itu. Sedangkan Yospan (Yosim Pancar) sama sekali bukanlah tarian tradisi, melainkan tari kontemporer yang dimodifikasi dari berbagai gerak dasar tarian rakyat berbagai suku. Yospan dproduksi pada masa pemerintahan Orde baru untuk kepentingan pariwisata dan dipaksakan keberadaannya sebagai representasi tarian adat Papua di tingkat nasional”.

Papua, sebuah wilayah dengan keluasan mencapai 710.937 km2, dan 410.660 km2 diantaranya adalah daratan. Hutannya menghampar luas, jika digabung dengan Papua Nugini maka hutan Papua terhitung nomor dua terbesar di dunia setelah Amazon. Di wilayah ini, terdapat 312 suku asli dengan bahasa dan dialek masing-masing yang khas, hingga tercatat 15% dari seluruh bahasa yang ada di dunia ini dimiliki oleh Papua. Bentuk-bentuk seni orang papua pun sangat beragam sesuai etnik mereka. Di sebuah daerah dimana bahasanya berbeda dari kampung satu ke kampung lain, sangat mungkin jika ekspresi artistik yang muncul akan berbeda bentuknya. Senjata, ukiran, kerajinan, dan instrumen musik dibuat oleh orang-orang yang berbeda di tempat yang berbeda pula, sesuai dengan ketrampilan dan keyakinan tradisional mereka.

Hingga kini Papua adalah tempat dimana nilai-nilai tradisi itu masih dipegang oleh penduduk aslinya. Tak heran jika, selain kekayaan alamnya memikat hati para investor yang melihatnya sebagai sumber keuntungan tak terperi, Papua juga adalah surga bagi para antropolog di seluruh dunia.

Perubahan jaman dan arus migrasi menjadikan Papua berkembang sebagai wilayah dengan etnis bervariasi. Orang-orang terus berdatangan dari berbagai suku bangsa, hingga kini jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari seluruh orang Papua. Kini kita menyaksikan, Papua tumbuh menjadi masyarakat yang plural, baik dari segi etnis, budaya, agama, ekonomi, dan interes politik. Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan itu semakin menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, orang asli dan migran. Sementara itu nilai-nilai baru dan pola hidup yang dibawa oleh orang migran telah menyebabkan shock kultural yang hebat pada penduduk asli. Kebudayaan Papua mengalami perubahan ke arah yang tidak dipahami oleh mayoritas orang Papua sendiri. Perkembangan berbagai bidang yang didominasi corak modern, menyingkirkan kebudayaan Papua hingga jauh ke pedalaman. Perubahan ini menyebabkan suatu bentuk kebutuhan dan ketergantungan baru orang Papua terhadap produk-produk buatan industri. Orang yang semula memakai koteka di Wamena kini mulai merubahnya menjadi kain dan dengan demikian harus membeli sabun untuk mencuci. Beras yang tidak ditanam orang Papua, kini menyerbu hingga pelosok kampung menggantikan sagu dan umbi-umbian sebagai makanan pokok. Semula orang Papua yang tingal di pedalaman tidak perlu membeli beras maupun minyak dan belanga, karena umbi-umbian yang dapat dibakar dengan kayu dan batu cukup tersedia di sekeliling kampung mereka.

Sementara itu generasi baru yang muncul kemudian tidak lagi memiliki pegangan lain sebagai pengganti, dan akhirnya bergerak di tengah persimpangan antara pola tradisi lama dan budaya luar yang masuk melalui tumbuhnya kota. Perlahan-lahan budaya Papua kini terancam hilang dan orang-orang tua pewaris kebudayaan mulai cemas oleh perkembangan ini. Matinya kebudayaan Papua berarti hilangnya identitas orang Melanesia di Papua.

Salah satu ekspresi budaya adalah seni. Sebagai masyarakat dengan tradisi lisan sangat kuat, ekspresi seni di Papua didominasi oleh musik, lagu, cerita rakyat, dan tarian, yang masih dapat ditemukan di seluruh daratan Papua. Jika kita pergi ke kampung-kampung, akan terkesan betapa banyak hal dahulu dilakukan dengan lagu, musik, dan tari: berburu, berdoa, menidurkan anak, membuat perahu, menokok sagu, mencari ikan, berperang, berdamai, dll. Musik dan tari mengalir hampir di semua aktivitas kehidupan. Setiap malam menjelang matahari mulai temaram, hutan pulas dalam nyanyian serangga dan suara kodok; dan pagi harinya ketika embun turun, musik kembali terdengar. Tembang penuh semangat hidup, tembang ratapan, tembang pujaan pada keindahan alam dan penghormatan pada leluhur, atau tembang cinta yang menusuk cuaca tropis yang panas.

2. Surutnya Seni Budaya Papua
Menyebut kata Papua, bawah sadar orang yang tinggal di luar Papua seringkali melayang pada sebuah hutan belantara dengan masyarakat tanpa baju kain, yang berjalan sambil menggendong babi di pundak kiri dan memegang tombak atau kapak batu di tangan kanan. Dan ketika menyebut seni-budaya Papua, orang akan membayangkan kumpulan laki-laki perempuan dengan seluruh tubuh penuh coretan dan lumpur, menari tak beraturan sambil menjerit-jerit memanggil roh nenek moyangnya. Tak jarang orang yang tinggal di Jawa merasa ngeri untuk pergi ke Papua. Selain jaraknya yang jauh, mereka akan memikirkannya lagi berkali-kali ketika ada yang berpesan “Awas, nanti kamu dimakan oleh suku asli...”

Tak dapat dipungkiri bahwa gambaran orang Papua masih hidup dalam situasi primitif, memuja kanibalisme dan ilmu hitam, hingga kini masih tersisa di benak orang-orang di luar Papua. Pandangan ini dilekatkan dan dipromosikan sejak abad 17 oleh para antropolog yang datang ke Papua. Luigi Maria D'Albertis (1876) salah satu contohnya, antropolog ini berangkat ke Papua dengan pasukan bersenjata dan bekal amunisi lebih lengkap dari pada peralatan seorang periset. Saat pulang ke negerinya, D'Albertis memenuhi kapalnya dengan koleksi kapak batu, panah, tombak, serta potongan tubuh dan tegkorak kepala manusia papua, di samping specimen tumbuh-tumbuhan dan serangga. Barang-barang itu dibawanya ke museum di negeri asalnya sebagai tanda prestasi invensi intelektual yang luar biasa.

Cara yang dipakai oleh para antropolog tempo dulu, juga menjadi salah satu taktik yang sering dipraktekkan oleh militer di Papua saat ini. Anggota pasukan yang diturunkan di Papua selain dibebani tugas mempertahankan kesatuan NKRI, mereka juga membayangkan dirinya sedang dalam misi untuk merubah “orang kanibal agar menjadi lebih beradab” (civilizing). Dan taktik yang digunakan adalah secara langsung bertempur dengan orang-orang Papua yang “liar” itu. Hal ini tergambar jelas saat seorang penduduk Enarotali-Papua Tengah bernama Igiyouda yang tertangkap tentara dan akhirnya dieksekusi: ia ditemukan mati dalam keadaan tubuh ditusuk besi panas dari anus tembus hingga mulutnya. Pada bulan September 2001, mayat pemuda berusia 32 tahun bernama Wellem Korwam ditemukan terapung di tepi pantai dekat Wasior. Kondisi mayat Korwam mengingatkan kita pada tubuh mayat-mayat yang dibawa oleh antropolog D'Albertis ratusan tahun lalu: ia dimutilasi menjadi tujuh potongan[1].

Lalu, siapa yang sesungguhnya kanibal?

Sikap arogan dan ketidakpahaman terhadap budaya lokal Papua telah mengakibatkan pandangan dan sikap subordinatif yang tersturuktur serta pelecehan yang mematikan. Adalah sebuah kesalahan sejarah sangat fatal ketika orang melihat dan memahami Papua sebagai gudang kekayaan sumber alam belaka dan melupakan bahwa di dalamnya hidup jutaan manusia Papua. Namun pandangan inilah yang saat ini menguasai benak penguasa dan pemodal yang meneteskan air liur saat merancang investasi masa depan, sembari berpikir bagaimana mengeliminasi berbagai kendala yang mungkin dihadapi saat mengeksplorasi keseluruhan permukaan dan perut bumi Papua. Cara eliminasi itu bisa berwujud fisik atau pun kultural.

Ketika tidak bisa lagi meniadakan penduduk setempat secara fisik, para imperialis kemudian akan mengeliminir mereka secara kultural, dengan mengatakan bahwa penduduk Papua tidak memiliki kebudayaan, atau dengan dalih bahwa kebudayaan Papua rendah dan tidak beradab. Mitos tentang koteka, jaman batu dan lain-lain kemudian sengaja dipupuk karena mendukung cara berpikir penguasa.

Sejak hadirnya misionaris kristen, beberapa seni budaya Papua mengalami penaklukan karena dianggap sebagai artikulasi paham animis, bahkan disebut kafir (misalnya seni Wor Biak). Upacara tradisi kultural dalam skala besar hanya mampu bertahan hingga tahun 1950. Perkembangan selanjutnya, Katholik dan Protestan saling berlomba dalam merebut wilayah dan umat (manusia Papua) untuk di-Kristenkan berdasarkan theologi barat. Misi ini disertai dengan penerapan larangan-larangan kepada masyarakat untuk tidak mengekspresikan seni dan budayanya. Pengkaplingan wilayah pendudukan agamapun terjadi di Papua, dimana Kristen Protestan mendapatkan jatah meliputi hampir sebagian daerah pesisir pantai utara dan pinggiran pegunungan. Sedangkan Kristen Katholik merambah wilayah pegunungan tengah dan selatan hingga sebagian kepala burung, berdampingan dengan Islam yang berkembang di kepulauan Raja Ampat dan Fak-fak. Meskipun pengaruh agama modern telah mengakar di masyrakat adat Papua, kepercayaan Pantheisme di sisi lain masih tersisa dan terpelihara dengan berbagai ritual tradisional yang dilaksanakan dalam skala kecil.
Sementara itu, bagi pemerintah (nasional) ekspresi seni budaya papua adalah sesuatu yang harus dirubah karena dianggap tidak bernilai, brutal, dan cenderung menakutkan. Rumah-rumah adat yang menjadi pusat pendidikan adat dan pewarisan pengetahuan bagi suku-suku di papua juga kemudian dilarang (misalnya rumah adat Kambik pada suku Moi, Rumsram di Biak, Jew di Asmat, Harit di Maybrat-Teminabuan, Kun pada suku-suku sekitar DAS Mamberamo-Sarmi, dll), karena selain dianggap bertentangan dengan agama modern, rumah adat dicurigai oleh militer sebagai tempat mempromosikan gagasan separitisme. Contoh lain yang hingga kini menjadi kenangan buruk bagi para seniman di Papua adalah pelarangan, penangkapan, dan pembunuhan terhadap seniman-seniman Papua. Pengalaman paling traumatis adalah penangkapan dan kematian personel Group budaya Mambesak, Arnold C. Ap oleh TNI (Kopassandha) di pantai Pasir Enam Jayapura, saat dirinya masih berstatus sebagai tahanan LP Abepura. Sedangkan Eddy Mofu ditemukan terapung di laut dengan lubang peluru di dada dan perut terobek senjata. Beberapa saat kemudian Sam Kapisa, anggota Mambesak yang juga seorang guru sekolah, meninggal secara misterius. Namun rakyat Papua yakin ia sengaja dimatikan oleh aparat militer. Dengan kematian mereka, pemerintah Indonesia telah melakukan "sesuatu" yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional rakyat Papua, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya mempersatukan berbagai kelompok yang saling bertikai[2].

Mengapa mereka dibunuh? Mengapa kelompok yang ingin mengangkat seni rakyat itu dimatikan, diteror, dan dimata-matai hingga kemudian hilang dan tinggal menjadi kenangan? Mengapa seni budaya Papua yang kaya ini harus diredam sementara di sisi lain pemerintah memberikan keleluasaan kepada budaya dan seniman-seniman lain di luar pulau Papua untuk mengembangkan budaya masing-masing? Lantas mengapa selalu meneriakkan jargon pengembangan budaya lokal dan Bhineka Tunggal Ika yang keramat itu?

3. Menyanyi dan Menari adalah Kerja yang Berbahaya?
Musik, lagu dan tari adalah spirit manusia Papua; dengan itu mereka bicara.
Untuk mengerti kekuatan musik dan tari di Papua Barat, dibutuhkan pemahaman tentang perjuangan demi identitas orang Papua. Dalam tekanan mendalam, musik dan tari menjadi bagian yang menggelorakan jati diri Papua, suatu identitas yang selama ini berusaha diberangus. Tetapi segala ekspresi yang mencerminkan identitas sejati orang papua justru dilarang. Pemerintah nasional seolah tidak menghendaki seorang dengan diri Papua, melainkan seorang Irian yang loyal. Dalam kenyataannya, diri Irian hanyalah khayalan dan identitas sesungguhnya tak pernah beranjak dari diri seorang Papua.

Setiap lagu dan tari memancarkan keyakinan dan harga diri seorang Papua. Untuk memahaminya, kita harus menyelami ke dalam lagu dan tari itu sendiri, dan kita akan mulai mengerti sesuatu tentang Papua. Lewat lagu kebudayaan diangkat, dan hidup rakyat dimuliakan. Lirik dan ragam yang memuja misteri serta kemolekan alam Papua, menyatakan kembali legenda dan tradisi, memberikan pengetahuan dan kearifan, juga ratapan, tawa, dan kegalauan. Berbisik tentang keseharian hidup, perjuangan serta harmoni kebersamaan. Lagu menjadi lem perekat jiwa, spirit, dan mengobarkan kembali identitas melalui tradisi oral.

Sebagaimana hidup rakyat, setiap kata lahir dari palung hati mereka, memancarkan hasrat personal terhadap situasi sekelilingnya. Justru karena itulah Eddie Mofu dan Arnold Ap dimasukkan dalam penjara oleh militer dengan tuduhan bersimpati pada gerakan separatis OPM. Namun lebih dari itu, apa yang dilakukan Mofu, Ap, Sam Kapisa, dan segudang seniman-seniman papua adalah bernyanyi dan menarikan lagu-lagu tradisional rakyat, rupanya telah menumbuhkan martabat dan kebanggaan orang Papua terhadap budayanya sendiri. Bagi pemerintah ini adalah sebuah “kejahatan”. Karena begitu dicintai rakyat dan kekuatannya yang mampu mentransformasi kesadaran orang papua dari sukuisme menjadi nasionalisme itulah yang diduga menjadi alasan kuat mengapa Mambesak perlahan-lahan dihabisi. Bangkitnya budaya papua melalui ekspresi musik, lagu, dan tari, dikawatirkan akan menguatkan rasa cinta terhadap tanah air, memunculkan sentimen ke-Papua-an, dan akhirnya mengakumulasi keinginan untuk bebas dan merdeka.

Dari lagu-lagu rakyat yang dinyanyikan oleh Mambesak, sekilas kita bisa melihat betapa sederhana syair dan musik yang dimainkannya. Namun bagi orang Papua, penuh makna karena dinyanyikan dalam bahasa tanah (asli) dan dengan dialek maupun cara yang khas masing-masing suku. Salah satu lagu rakyat Biak yang dinyanyikan Mambesak berjudul “Awin Sup Ine” menyatakan rasa bangga pada alam Papua:

Orisyun isew mandep fyarawriwek
Nafek ro masen di bo brin mandira
Napyumra sye napyumda ra nadawer
Makamyun swaro beswar bepondina

Ref
Awino kamamo sup ine ma
Yabuki mananis siwa muno
Yaswar I na yaswar I sof fioro

[Dalam cahaya gemilang, sinar mentari melukis keindahan di langit,
menggelorakan pandangan & perasaan
saat ini, tak ada yg dapat menolong,
kecuali dengan mengingat kembali peristiwa manis masa lalu
dan menghayati rasa cinta yang mengikat kita
pada tanah ini].

“Nanen Babe” lagu rakyat Sarmi -sebuah wilayah pesisir pantai utara Papua juga berisikan syair2 yang penuh arti tersembunyi:

Nanen babe nanen meina babe
Kwin matreuban maska teufyar deiwa
Teimwa Aram usker ma enap aram enap

[Bintang pagi terbit di timur ‘kan segera diikuti matahari,
Keindahan langit membawa ingatan
pada kampung halaman]

Itulah bintang terakhir di langit gelap sebelum fajar menyingsing, cahayanya memandu nelayan pulang dengan aman. Bintang kejora yang kecil dan bercahaya di pagi hari menjadi simbol kebebasan, memandu rakyat kembali pulang ke (kedaulatan) tanahnya sendiri. Sebuah lagu lain menyatakan secara terbuka suatu kemarahan dan emosi yang kuat. “Muman Minggil” yang dinyanyikan dalam bahasa Auyi -sebuah wilayah di Arso yang sarat represi militer dan porak poranda oleh penebangan kayu dan perkebunan kelapa sawit. Dengan irama yang cepat, mudah dicerna, dan berisi pesan spontan:

Muman mingil kai bekhel smetwat
Yus yata timtom fofuso
Nu manggi uwel nekwaukhu
Semfat yemse takhul yen
Nasa aya khwas

[Waktu berubah cepat,
pusaka warisan nenek moyang sirna dari pandangan,
hanya sisakan reruntuhan rumah kita,
desa tak terpelihara, tersia-sia bagai anak piatu]

Ketika Mambesak memulai pekerjaannya, banyak yang gagal memahami apa tujuan sejatinya. "Mungkin kamu berpikir saya ini sedang melakukan hal bodoh, tapi inilah yang saya pikir dapat saya lakukan untuk rakyat, sebelum saya mati,” demikian Arnold Ap menjelaskan sesuatu yang dapat menggambarkan semangat Papua yang mengilhami rakyatnya.

4. Inisiatif Seniman Generasi Baru di Papua
Setelah peristiwa yang menimpa Mambesak, musik masih menjadi sebuah kekuatan yang menginspirasi gerakan perlawanan terhadap penindasan di Papua. Pesan serta falsafah Mambesak sekarang diambil dan diteruskan oleh seniman-seniman di Papua. Hingga saat ini kelompok-kelompok anak muda generasi baru yang menyadari identitasnya kian punah, mulai menekuni musik dan tari rakyat Papua. Salah satu contoh adalah mereka yang tergabung dalm Kelompok Oridek, Pandotu, dan Humeibou di Manokwari, Bengkel Budaya di Sorong, dan Black Paradise di Jayapura.

Mereka adalah kelompok-kelompok anak muda yang mencoba memadukan seni musik, lagu dan tari sebagai alat pendidikan kristis bagi masyarakat adat papua. Itulah keunikan dari group-group ini yang membedakannya dengan group-group lain yang hanya mengejar kepentingan pertunjukan, pariwisata, rekaman untuk keuntungan dagang, dll. Group musik dan tari yang dipelopori oleh para anak muda ini berusaha mengungkapkan bahwa kebudayaan Papua masih tetap hidup. Mereka menggunakan musik, lagu, dan tari untuk mengangkat identitas, martabat, dan rasa percaya diri rakyat, sekaligus mengkampanyekan penghentian kekerasan, perusakan lingkungan, dan seruan stop peminggiran orang Papua dari tanahnya sendiri.

Group Oridek, Pandotu, dan Humeibou dipelopori pendiriannya oleh Yalhimo Manokwari. Oridek adalah group musik yang beranggotakan para buruh pelabuhan di Manokwari. Humeibou beranggotakan anak-anak muda putus sekolah dan pengangguran yang diorganisir melalui diskusi dan training-training yang diselenggarakan oleh Yalhimo. Sedangkan Pandotu adalah group musik yang berdiri di kampung Werabur, distrik Windesi. Anggota Pandotu terdiri dari orang-orang kampung yang selama ini menjadi basis pengorganisasian Yalhimo.

Humeibou telah merelease 3000 copy VCD yang bertemakan persaudaraan, solidaritas, dan demokrasi. Pandotu juga telah mengeluarkan 500 copy kaset lagu-lagu rakyat bertema perdamaian dan lingkungan yang dinyanyikan dalam bahasa lokal Wamesa. Sedangkan Oridek baru saja menyelesaikan rekaman tentang lagu-lagu rakyat, termasuk Wyor yang selama ini menjadi hal tabu untuk dinyanyikan.

Sedangkan Bengkel Budaya, didirikan pada bulan Agustus 2004 oleh beberapa orang muda di Sorong. Dengan personel berjumlah 28 orang, Bengkel Budaya mencoba mendokumentasikan dan mempraktekkan kembali musik, nyanyian, dan tari tradisional rakyat yang hampir punah. Sebagian besar anggota group adalah anak muda putus sekolah yang tinggal di kampung maupun di kota. Seperti halnya anak-anak muda Papua lainnya, mereka memiliki skill memainkan berbagai alat musik, menyanyi, dan menari dengan baik. Selain membangun sanggar di pusat kota Sorong, Bengkel Budaya mulai melakukan perjalanan ke kampung-kampung untuk merintis sanggar dan mengorganisir pemuda setempat dengan seni sebagai medianya. Cara ini terbukti cukup ampuh, karena seni tradisi dengan mudah menyentuh hati rakyat dan sesuai (klop) dengan kehidupan penduduk sehari-hari. Selain melatih diri dalam hal seni, Bengkel Budaya memiliki diskusi rutin bulanan dan pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan wawasan anggotanya. Di tingkat kampung pun, selain kegiatan kesenian, sanggar juga dimanfaatkan untuk pelatihan kerja para pemuda dan tempat diskusi masalah-masalah yang terjadi di kampung serta maslah sosial budaya Papua.

Di tingkat kota, Bengkel Budaya mencoba melakukan kampanye budaya lokal dan pluralisme melalui program khusus budaya di radio lokal. Acara ini mengudara setiap satu minggu sekali, yang diisi dengan live musik tradisonal, cerita rakyat, mop, dan dialog interaktif.

Black Paradise (BP) sebuah group budaya yang terdiri dari anak-anak muda kini sedang berupaya meneruskan apa yang telah dirintis oleh Mambesak: mengasah kembali budaya yang digempur oleh militerisme, dirongrong oleh gereja, dan dieksploitasi oleh pedagang. Sebagian besar anggota group ini adalah juga aktivis HAM yang bekerja di ELSHAM Jayapura. Bekerja membela hak asasi manusia tak bisa dipisahkan dari musik mereka. Belum lama ini beberapa anggota BP melakukan perjalanan ke Timika, sebuah kota yang berada di bawah bayang-bayang pertambangan emas dan tembaga raksasa: Freeport. Perusahaan yang dilindungi ketat oleh militer ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang maha parah dan menciptakan sejumlah konflik sosial. Sembari melakukan investigasi pelanggaran HAM, saat di Timika anggota BP juga mengumpulkan lagu-lagu tradisional. Salah satu contohnya adalah Akai Mbipae, sebuah lagu yang menceritakan tentang kepedihan suku Amungme yang terajam oleh kehadiran pertambangan raksasa itu: seorang ibu yang menagis karena manusia, khususnya freeport telah merusak lingkungan.

BP memiliki sebuah pesan sederhana yang ingin disampaikan pada publik: "Kami ada untuk mengungkapkan bahwa kebudayaan Papua masih tetap hidup. Kami ingin Pemerintah Indonesia menghentikan kekerasan di tanah Papua, dan membiarkan kami berkarya”. Beberapa waktu lalu BP melakukan tour ke Australia, dalam sebuah konser bertajuk Morning Star Concert for West Papua. Sebuah konser yang ingin menunjukkan apa yang terjadi di sebuah pulau besar yang berjarak beberapa mil dari pantai Australia ini. BP ingin menyentuh dan menginspirasi orang-orang di Australia untuk belajar lebih banyak tentang Papua barat, meski dalam kehadirannya yang hanya sesaat. “Kemanusiaan dan kedamaian di Planet ini adalah hak milik semua orang, dan harus diperjuangkan oleh setiap orang, dimanapun ia berada”. BP telah merelease 5000 copy CD musik dan telah beredar di Papua, Australia, Pasifik, dan Eropa melalui jaringan kampanye HAM dan perdamaian yang telah dibangun.


5. Penutup
Di sebuah tempat dimana ekspresi identitas menjadi bagian yang diperjuangkan, musik, lagu, dan tarian pun menjelma senjata. Sebagai media, ia memiliki kekuatan untuk membangkitkan kemarahan, kesedihan, suka cita, dan persaudaraan. Namun kini musik, lagu, dan tarian tradisi rakyat juga menghadapi gempuran bentuk-bentuk kesenian asing yang membawa serta paradigmanya sendiri. Di Papua adalah sebuah kerja teramat berat untuk bagaimana mempertahankan berbagai bentuk tari dan musik menjadi identitas budaya. Meski bergerak dinamis seni dan budaya tetaplah harus menjadi bagian yang dimiliki, dipahami, dan menjadi satu dalam “diri papua” yang kontekstual, tidak tercerabut dari akar, sehingga mampu menuntun manusia Papua ke arah kesejatian hidup, saat ini dan di masa depan.

Bisa lihat juga di : http://www.wahana-budaya-indonesia.com/

ARNOLD CLEMENS AP, DKK 0 komentar

PERGERAKAN MAHASISWA UNCEN PAPUA 70 – 80an ,
Gerakan kebangkitan Mahasiswa berikutnya adalah, gerakan kebangkitan Seni dan Budaya Papua Barat yang di pelopori oleh Arnold C Ap, Sam kapisa dan kawan-kawan mahasiswa uncen di Jayapura. Gerakan mahasiswa yang bergerak di seni dan budaya ini lahir pada tahun 1972 yang dimulai dari gereja-geraja, panggung hingga terakhir di RRI nusantara lima Jayapura. Gerakan ini tumbuh dan berkembang, yangn kemudian pada tanggal 15 Agustus 1978 menjadikan hari jadi mambesak. Musik ini oleh Sam Kapisa dan Arnold C Ap mengganggap sebagai musik yang suci sehingga mereka menamainya Mambesak, Nuri, yang menurut orang Biak adalah burung suci, tujuannya adalah untuk menghibur hati masyarakat Papua yang sedang di intimidasi, di aniaya, di perkosa dan di binasakan. Musik-musik mambesak memberikan kekuatan perlawanan rakyat Papua dan mengembalikan jatidiri sebagai komunitas yang beda dari bangsa Indonesia.Gerakan Mambesak memberikan inspirasi yang kuat dan membangkitan nasionalisme bangsa Papua, sehingga perlawananpun semakin lama mulai menguat di daerah-derah Papua lainnya. Namun sayang, karena oleh pemerintah Indonesia menganggapnya gerakan ini sangat berbahaya sehingga mereka menangkap Arnold Ap dan membunuhnya tanpa alasan politik dan keamanan yang jelas terhadap kesalahan yang di Lakukan oleh Arnold Ap. Gerakan ini melahirkan protes besar-besar bangsa Papua atas kehadiran Indonesia, dengan melakukan Suaka politik dan pengungsian besar-besaran.Di Jayapura sekitar 800 Masyarakat Papua melakukan pelarian ke Perbatasan Indonesia – PNG sebagai protes mereka atas sikap tidak manusiawi Indonesia terhadap bangsa Papua Barat. Sementara di Jakarta, Simon Ottis Piaref, Johannes Rumbiak, Jopie Rumanjau dan Loth Sarakan,
mempertanyakan nasib Arnold Ap ke DPR-RI, karena dikejar-kejar maka mereka melakukan lompat pagar dan meminta suaka politik di kedutaan Belanda. Sikap yang diambil oleh Simon O Piaref dan kawan-kawan ini, adalah sikap protes atas sikap dan tindakan Indonesia yang tidak manusiawi di tanah Papua Barat. Pada hari yang sama sekitar 300 masyarakat Papua melakukan long march mengantar mayat Alm. Arnold Ap dari Jayapura menuju Tanah Hitam, tempat peristirahatan terakhir Alm. Arnold Ap, salah seorang musisi sekaligus Antropolog yang lahir dari Tanah Papua.

http://takimaiboo.wordpress.com/2010/01/09/arnold-c-ap-dkk/

Salam Pembebasan

SARJANA BARU, PENGANGGURAN BARU 0 komentar

JUBI—Meski sudah beberapa kali meluluskan ribuan sarjana ternyata Universitas
Cenderawasih Jayapura, belum menciptakan lapangan kerja baru sesuai yang diharapkan.Universitas Negeri Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Papua semula didirikan sebagai salah satu motor pergerakan untuk merebut simpati masyarakat Papua dan sarana politik bagi perjuangan perebutan Irian Barat. Bahkan 10 November 1962 Uncen didirikan dan memiliki Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Fakultas Ilmu Keguruan. Filosofi pendirian Universitas Cenderawasih adalah untuk menciptakan pemimpin bagi masyarakat di Provinsi Irian Barat waktu itu.
Lalu pemimpin seperti apa yang diinginkan Orang Papua? Walau sebenarnya dari kampus ini telah lahir pemimpin - pemimpin di Papua terutama di bidang pemerintahan dan staf pengajar. Salah satu Tokoh Pejuang alumnus Uncen dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Geografi adalah almarhum Arnold Clemens Ap . Sarjana Muda Georgrafi itu akhirnya bekerja di Museum Budaya Uncen dan mendirikan Group Musik Mambesak. Bahkan saat itu diterbitkan pula jurnal antropologi yang telah mendapat pengakuan dari beberapa lembaga di luar negeri. Kelompok budaya Mambesak pimpinan Arnold Ap telah melahirkan kesadaran budaya dan harga diri Orang Papua. Pengenalan jati diri dan identitas melalui rasa cinta terhadap budaya Bangsa Papua justru melahirkan kecurigaan terhadap pihak aparat. Akibatnya Arnold C Ap dan Eduard Mofu ditemukan tewas di pantai Base G Jayapura. Kelompok Group Musik Mambesak melahirkan banyak pemuda Papua tanpa memandang suku dan etnis serta budayanya. Thonci Wolas Krenak adalah salah satu jebolan Kelompok Mambesak yang kini menjadi redaktur Harian Sore Suara Pembaruan. Selain itu masih ada pula Dr. Enos Rumansara ,MA dosen antropologi Fisip Uncen. Sayangnya sejak Group Mambesak dibubarkan, hingga kini sudah tak ada lagi kelompok kelompok budaya seperti yang pernah dirintis oleh A C Ap dan kawan - kawan. Sejak kepergiaan tokoh budaya ini pada April 1984 nyaris tak ada lagi pentolan pentolan budaya dari Kampus Uncen. Bahkan nyaris tak menyamai kehebatan Mambesak.
Padahal sebagi salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Papua seharusnya mampu menjawab kebuntuan dan keresahan masyarakat di Papua. Lembaga ini prakrasai oleh Prof Dr. Soegarda sekaligus Rektor pertama dan sekaligus ini berdiri sejak 10 Novenber 1962 silam. Fakultas pertama yang didirikan adalah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik digabung dengan Ekonomi saat itu. Kedua Fakultas ini tak menjadi kendala bagi Sogearda untuk terus memperjuangkan lembaga ini. Dia terus berupaya dengan segala kekurangan yang ada agar lembaga pendidikan tinggi tersebut ada dan bertahan demi kemajuan Pendidikan di Papua yang sampai saat ini masih tertinggal. Hingga kini, lembaga tinggi ini telah menjadi barometer pendidikan di Tanah Papua. Selain itu, juga menjadi pemersatu budaya yang ada di tanah Papua. Lembaga ini cukup diminati banyak Pemuda-pemudi. Putra Asli Papua sendiri maupun luar Papua. Hal ini mengakibatkan berbagai daerah dari masing-masing suku yang berbeda datang menempuh pendidikan di Uncen. Sejumlah persoalan tersebut mengakibatkan ratusan mahasiswa cetakan Uncen sudah tak lagi seperti yang sebelumnya. Ribuan lulusan Uncen yang hanya berharap pada tes Calon Pegawai
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dilain sisi, mereka juga telah kerap kalah saing dengan rekan mahasiswa lainnya di luar Papua. Hal ini mengakibatkan menjamurnya tingkat pengangguran yang semakin tinggi di Papua. Tiap tahunnya pengangguran semakin bertambah dan naik secara drastis. Daud Frengki Heluka (24) salah seorang wisudawan kepada JUBI usai acara wisuda Uncen pada Rabu, pekan lalu, menilai, sejumlah mahasiswa lulusan Uncen cukup berbobot dan siap di pakai dimana saja. Baik di Instansi Pemerintahan maupun swasta. Buktinya sudah cukup banyak yang bisa dilihat. Diantaranya, Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH, Bupati Kabupaten Jayapura, Habel Melkias Suwae, S.Sos, MM, Kepala Distrik Abepura, Max Olua, S.Sos dan sejumlah Alumni Uncen lainnya. “Mereka semua lulusan Uncen,” tukas Heluka dengan nada tegas. Namun disisi lain, kata dia, banyak lulusan Uncen juga yang hanya berharap pada tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang digelar oleh Pemerintah Provinsi Papua maupun setiap kabupaten di Papua, tiap tahunnya. Menurut dia, hal ini tergantung pada pribadi orang itu sendiri. Dengan begitu. maka jelas akan menghasilkan banyak penganggur di kota ini. Pahal pihak lembaga tinggi Uncen berharap para lulusannya dapat menciptakan lapangan kerja baru.. Bagi dia, dirinya akan berusaha untuk menciptakan lapangan kerja baru di daerahnya yakni di Yahukimo. Usaha tersebut adalah kursus komputer dan usaha rental. ”Saya akan usahakan ini di daerah Yahukimo, karena sampe sekarang komputer belum banyak disana,” pungkasnya. Selain itu, juga akan mengikuti tes pegawai. Dia menambahkan, saat dirinya di wisuda dia merasa lega. Namun secara moral susah meninggalkan kampus. Bagi dia, kelulusan yang diraihnya bukanlah akhir dari pendidikan, namun awal dari pendidikan dan pejuangannya untuk menggapai masa depannya. Sementara itu, Inseri Womsiwor (25) mengungkapkan, tiap tahun, beribu-ribu mahasiswa yang dihasilkan namun hanya berharap pada penerimaan CPNS. Kebanyakan mereka tak menciptakan lapangan kerja baru, seperti yang diharapkan lembaga pendidikan tinggi Uncen. ”Mereka lebih banyak memlih jadi PNS, sedangkan pekerjaan lain seperti swasta tidak banyak yang meminatinya,” katanya. Menurut dia, ia lebih memilih bekerja di Yayasan atau di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). ”Saya tidak mau kerja jadi PNS. karena terkesan terlalu terikat,” ujarnya. Selain itu, kata dia, ia juga akan berusaha menciptakan lapangan kerja baru.
Diantaranya, membuka kursus Bahasa inggris dan membuka rental komputer,” tuturnya.
Usai mewisuda para sarjana di Auditorium Baru Uncen di Abepura, belum lama ini, kepada wartawan Prof. DR. Berth Kambuaya, MBA mengatakan, Uncen Jayapura harus dilihat sebagai aset penting dalam pembangunan dunia pendidikan di Tanah Papua dan Indonesia secara umum. “Uncen sebagai lembaga pendidikan turut mengambil bagian di dalam membentuk dan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan mengelola Tanah Papua,” katanya. Ia berharap, hasil lulusan kesekian kali ini dapat menciptakan lapangan kerja baru. Mereka jangan terlalu berharap pada tes CPNS yang sering dilakukan pemda setempat. Memang demikian tetapi sebagai lulusan perguruan tinggi , harus mengembangkan kemampuan serta kreatifitas yang dimilikinya. Karena masyarakat umum sedang membutuhkan hal tersebut. “Dengan demikian dapat menekan angka pengangguran yang terus bertambah tiap tahun,”tegas Kambuaya. Sekretaris Daerah Provinsi Papua, Tedjo Suprapto, MM mengatakan, peranan lembaga ini sangat penting.Saat ini Pemerintah Provinsi Papua telah berupaya mengembangkan SDM Papua dengan memberikan peluang kepada putra putri asli Papua untuk melanjutkan pendidikannya. “Pemda saat ini sudah mengirimkan beberapa Orang Papua untuk melanjutkan pendidikannya di luar Papua,” tukasnya. Bukan di dalam negeri saja bahkan sampai ke luar negeri. Sarjana Baru, Pengangguran Baru Sekda Provinsi Papua menjelaskan, putra-putri yang nantinya dikirim melanjutkan pendidikan harus memiliki kulitas yang tinggi. berdedikasi, serta mempunyai moral yang baik pula. Dengan begitu. maka bisa bersaing dengan rekannya yang berada di luar Papua. Untuk itu, dia berharap Uncen dapat membantu Pemerintah Daerah menciptakan pemuda yang berkulitas serta berdedikasi tinggi. Sehingga tiap tahunnya, mereka siap dikirim untuk menempuh pendidikan di luar Papua. Maka pengembangan Papua kedepan dapat dikelola oleh Putra Asli Papua sendiri. Lembaga ini perlu berupaya untuk memenuhi kekurangan fasilitas tersebut. (JUBI/Musa/Eveert
/Ronal)

ARNOLD CLEMENS AP DAN HAM (4) 0 komentar

*) Yunus G Adijondro

Yang berikut negara dipahami sebagai sebuah keluarga, dalam arti sesungguhnya. Karena negara identik persis dengan keluarga, maka konflik di haramkan demi tegaknya harmoni keluarga. Hubungan bapak dengan anggota keluarga lainnya berlangsung dalam suasana tentram penuh keakraban. Bapak tidak pernah berbuat salah, ia selalu bijaksana. Atau kalau pun membuat kesalahan, segera saja dimaafkan. Sebab bagaimanapun, dia adalah orang tua sendiri. Keadaan ini pula yang diperlakukan pada Presiden Soeharto. Tidak

usah dikritik bahkan tidak perlu diganti jabatannya oleh orang lain. Ia boleh tetap di posisinya sampai meninggal dunia. Kesalahan konsep itu berdampak pada pelecehan terhadap HAM di negeri ini. Memperjuangkan HAM, sama saja dengan melawan sopan-santun dan merusak harmoni keluarga besar Indonesia.

Agustina Arongaer:

Penjelasan yang menarik dari Pak George tentang kasus Arnold Ap dan kasus-kasus lainn yang kadang menyakitkan hati, sudah kita ikuti kasus-kasus penyepelean hak ini, kalau terus dipendam, bisa berdampak peledakan emosi. Pertanyaan saya. Apakah yang diinginkah oleh mereka yang selalu menekan HAM di Papua Barat? Kita sudah cukup mengabdi kepada pemerintah melalui pogram-program pembangunan yang diturunkan ke daerah.

Kristian Torey:

Di Papua Barat, memang agak susah berbicara secara bebas, sebab tuduhan sebagai anggota atau simpatisan OPM, dari awal sudah disiapkan. Sebagaimana tadi sudah disampaikan. Dalam hal, ada orang luar datang mewawancarai penduduk setempat, dimana pihak yang diwawancarai terpaksa berurusan dengan pihak keamanan. Berbeda dengan si pewawancara yang mungkin sedikit lebih leluasa. Sebagai orang yang cukup banyak mengikuti persoalan HAM di Papua, bisakah Bung George memberikan usulan tentang strategi yang cocok untuk memperjuangkan HAM di Papua tanpa menanggung risiko mendapat cap OPM?

Willem Wakum:

Kalau kita mengamati sepak-terjang tentara di Papua Barat selama ini, banyak orang yang ditangkap dan ditahan tanpa sebab. Artinya, entah orang-orang yang bersangkutan terlibat atau tidak dalam suatu kegiatan yang sifatnya politis. Tindakan-tindakan semacam ini, adakah hubungannya dengan azas praduga tak bersalah?

Ir. Ferry Karwur:

Saya agak bingung mengenai bagaimana membedakan suatu komunikasi yang sifatnya tawar-menawar dalam konsep demokrasi dan suatu tindakan yang memiliki tujuan atau punya keinginan membentuk apa yang menjadi sasaran atau suatu masyarakat sesuai dengan pikiran (frame of mind) kita.

Yosef Rumaseb:

Ada kaitannya dengan yang disampaikan Ferry, setelah mengikuti seluruh penjelasan, saya jadi bertanya. Apakah betul ABRI yang menjadi pelaku tunggal pelanggaran HAM di Papua. Saya ingat catatan kaki di makalah Pak George untuk Forum Konsultasi Wanita Irja beberapa waktu lalu. (Pada forum yang diselenggarakan oleh LPM - UKSW, 3 - 5 Desember 1992 ini, George J. Aditjondro menyampaikan makalah berjudul "Pemikiran Mengenai Kebudayaan-kebudayaan Asli Papua Jaya", peny). Cerita atau joke-nya begini:

"ada seorang Paniai yang mencoba meminang wanita Biak, tapi kemudian ditolak. Alasannya karena dia noge (orang Painai, peny.) Pemuda ini membalas penolakan wanita Biak dengan mengatakan, "memang saya noge tapi marga saya juga Korwa" -- penyunting). Jadi sebetulnya, ada suku-suku di Papua, misalnya, Biak yang begitu kuat,

ikut melanggar hak-hak asasi dari suku-suku lainnya. Tapi itu tidak disebutkan oleh Pak George. Saya anggap ini penting, agar kita tidak terlalu terjebak untuk menuding ABRI, sehingga lupa diri bahwa kita pun menghilangkan hak-hak asasi saudara-saudara kita sendiri yang sejajar dengan kita. Barangkali, ini sekaligus menyadarkan kita agar mawas diri. Tidak hanya menuding pihak lain.

Drs. Melky Huke:

Sekedar menambah komentar Yosef. Pelanggaran hak asasi manusia yang paling berat di Asmat, terjadi di era kepemimpinan Camat Ombret, orang Muyu, dan Camat Rumbrar, orang Biak.

GJA:

Tadi saya banyak gambarkan ABRI sebagai satu contoh dari kekuasaan fisik. Ada dua aras permasalahan dalam pelanggaran-pelanggaran hak asasi di Papua Barat. Satu, pelanggaran hak asasi dengan kekuatan telanjang (brute force). Tersangkut di sini, segala macam aparat koersi, yang bisa memaksa, tanpa membedakan siapa maupun apa sukunya. Kadang-kadang beberapa fungsi bias dijalankan: militer, polisi dan mungkin juga sebagai camat. Salah satu bentuk pelanggaran hak asasi yang paling dini di Papua, terjadi tahun 1965

dengan dibunuhnya Pastor Smith oleh Camat Fimbay, orang Bintuni. Jadi saya setuju bahwa kita tidak single out ABRI sebagai institusi, tetapi berbagai macam aparat kekuasaan.

Kedua, yang arasnya lebih tinggi, yaitu pelanggaran hak asasi karena hal-hal yang sifatnya idiologis, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya. Adanya anggapan bahwa makin hitam satu suku, makin rendah kedudukannya dalam, katakanlah evolusi maupun hirarki manusia. Ini satu permasalahan yang universal, bukan hanya di Indonesia. Makin putih

seseorang, makin dekat dia dengan dewa. Makin hitam seseorang, makin sah untuk dia diperlakukan sebagai binatang. Selama ini kita tidak pernah bicara secara telanjang bahwa di Indonesia ada rasialisme. Pengertian rasialisme yang muncul hanya dikaitkan dengan

perbedaan antara non-Tionghoa dan Tionghoa, atau antara pribumi dan non-pribumi. Tapi adanya rasialisme berdasarkan warna kulit, selama ini ditutup-tutupi, kita peroleh berbagai contoh dan pengaruh dari impor budaya wayang. Dalam wayang diceritakan tentang kontradiksi antara kesatria dan Bhuto atau raksasa. Maka orang-orang yang raksasa mendapatkan gambaran sebagai orang-orang yang bengis atau jahat. Kita masih ingat dulu, bagaimana seorang Wasdi di Jakarta di hukum hanya karena jelek. Karena

berwajah jelek dan menakutkan, dia dicurigai hendak menteror seorang ibu. Padahal Wasdi ini mencari duit dari menjadi pembawa barang orang belanja di Pasar Senen. Saya masih ingat komentar kawan saya, Policarpus da Lopez, yang kebetulan orang Flores: "Salahnya Wasdi sih, wajahnya jelek, nakutin!" Mungkin orang Papua juga nakut-nakutin. Coba lihat Bram (Hendrikus Abraham Ondi, pemandu diskusi -- penyunting).

Yang juga sifatnya idiologis adalah penggambaran yang banyak kita temui tentang Papua Barat sebagi wilayah yang kosong, hampir tidak ada penduduknya dan betapa potensi-potensi sumber daya alam di sana belum dimanfaatkan. Makanya saya kritik sekali mereka yang menulis "raksasa yang sedang tidur", maka berarti ada dua implikasi. Yang pertama, Raksasa dalam arti sumber daya alamnya melimpah, yang kedua, Tidur, maksudnya sumber daya alamnya yang melimpah itu, belum dimanfaatkan secara optimal. Nah, ukuran ini dari sudut apa? Ini kan ukuran dari sebuah teknologi tertentu. Menyimak

bagimana orang Balim memanfaatkan sumber daya alamnya, itu sudah sangat optimal. Bahkan diakui oleh Pak Tjahyadi (dosen Fakultas Biologi UKSW -- GJA). "Produktivitas ubi-ubian di lembah Balim termasuk tertinggi di Indonesia!" dan mungkin di dunia.

Lalu, di mana daerah di Papua Barat yang tidur dan konsep tidur itu dalam hal apa? Apakah dalam arti buldozer, membangun PLTN? Ataukah dalam arti bagimana penduduk setempat memanfaatkan sumber daya alamnya secara optimal, di samping lestari. Boleh jadi, dalam tulisan-tulisan anda, anda pun ikut mereproduksi istilah-istilah itu. Ini membuktikan bagaimana kuatnya penjajahan idiologis. Termasuk di sini anggapan bahwa hak untuk merdeka itu merupakan suatu hal yang terlarang. Karena Republik Indonesia adalah bentuk yang final.

Indonesia sekarang baru beberapa tahun umurnya, Indonesia yang kita tahu sekarang adalah satu bentuk yang sangat temporer yang dicoba dilegitimasikan. Dikatakan bahwa sudah ada di Zaman Majapahit dan Sriwijaya. Ini semua omong kosong. Majapahit, jelas sebuah kerajaan di Jawa Timur yang punya hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lain di Jawa dan luar Jawa. Mungkin dalam hubungan federasi dan barter. Tapi bukan konsep Indonesia Raya. Indonesia Raya memang tidak ada, adanya dalam pemikiran

Mohammad Yamin.

Hindia Belanda juga begitu. Kemarin saya tegur Buyung, saya bilang, kita mempertahankan Papua Barat, karena Papua Barat adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena Tidore (kesultanan Tidore) mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai dengan Teluk Yotefa mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum merasa otomatis mendapatkan hak atas jajahan Tidore? Belanda mundur, Indonesia punya hak atas seluruh eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu mitos.

Sejak kapan berbagai daerah di Papua Barat tersubordinasi (takluk) di bawah Kesultanan Tidore? Apakah hanya karena orang Biak senang mengimport nama-nama marga, seperti Kapitarauw dan lain-lain dari sana? Maka kemudian, Biak dapat dianggap merupakan satelit Tidore? Saya kira tidak. Yang ada, lebih banyak hubungan yang sejajar. Misalnya, kalau perlu orang Biak kerja untuk menjadi armadanya Tidore, di Biak sendiri memang tidak dikenal suatu bentuk kerajaan yang vertikal. Bentuk kerajaan yang ada di Papua Barat, paling banter, seperti yang ada di Fakfak. Itu pun sangat terbatas.

Atas dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas seluruh wilayah Hindia Belanda dulu, merupakan imajinasi. Yang lebih sadis di Indonesia, kita tidak lagi bisa berpikir secara merdeka. Penelusuran sejarah mengenai berbagai ragam konsep, tidak bisa lagi dilakukan. Padahal sejarah adalah sesuatu yang terus berubah, panta rei. Sejarah adalah proses, bukan sebuah potret momen opname yang sudah jadi.

Tadi ada yang menanyakan, mungkinkah memperjuangkan HAM di Papua Barat tanpa punya sangkut paut dengan OPM? Menurut saya tidak bisa, kalau namanya hak asasi manusia. Dan itu kalau kita tetap berpegang pada ke-30 pasal Deklarasi Universal HAM, di mana salah satu pasalnya adalah hak untuk menentukan nasib sendiri dari daerah-daerah yang sekarang tidak berdiri sendiri. Entah, berupa koloni atau propinsi. Kesempatan tetap terbuka.

Yang tidak boleh adalah orang yang pro-OPM memaksa orang lain untuk juga pro-OPM. Kalau kita menghormati hak berbeda pendapat, maka boleh saja ada orang Papua yang pro-RI, ada orang Papua yang pro-OPM. Juga self determination rights, hak menentukan nasib sendiri. Bisa ditafsirkan ke berbagai kemungkinan. Bahwa kemungkinan itu ada, bisa diukur dari daerah di mana orang lebih bebas berbicara.

Waktu saya masih bertugas di Papua Barat, beberapa kali saya ke PNG. Dan saya bertemu dengan orang-orang Papua Barat yang sudah menetap di sana. Ada orang Yotefa, misalnya Hanasbei, juga orang Biak. Di antara orang-orang Papua yang ada di sana, tiga kemungkinan mereka terima, artinya ada penganutnya.

Ada orang-orang yang berpendapat, seandainya teman-teman di daerah Indonesia lain mau mendukung perjuangan hak asasi manusia di Papua Barat, maka mereka menerima sebagai salah satu solusinya bahwa Papua Barat tetap bagian dari Indonesia. Tetapi belum tentu diperlakukan sesuai dengan hukum-hukum Indonesia, pendapat seperti ini, misalnya dikemukakan oleh Frans Albert Yokhu.

Ada kelompok lain yang tidak percaya pada kemungkinan itu. Cukup banyak alasan mereka untuk tidak percaya, Sehingga bagi mereka, memperjuangkan Papua menjadi sebuah negara sendiri, tetap harus dilakukan. Ini antara lain disampaikan oleh teman-teman saya di Propinsi Morobe.

Masih ada lagi orang-orang lain yang mencoba berpikir dalam konsep Melanesia Raya. Semacam Yamin-nya Pasifik. Mereka menghendaki Papua Barat, Papua Niugini, Fiji, Kepulauan Solomon dan Vanuatu berhimpun dalam satu konfederasi. Kelemahan dari konsep ini adalah mereka meng-excude (mengisolir) orang-orang lain yang juga melanesia, seperti di Maluku dan Timor. Kelemahan dari konsep ini pernah ditunjukan oleh Mendikbud (waktu itu) Fuad Hassan.Kalau kita mau berhitung, lebih banyak orang Melanesia (lebih kurang 15 juta) berada di apa yang saat ini merupakan wilayah Indonesia, ketimbang orang Melanesia yang ada di Pasifik Selatan. Jadi berarti konsep Melanesia-Raya harus membongkar "Tembok Berlin" yang ada di dalam buku-buku antropologi antara kawasan Melanesia, Indonesia, Mikronesia dan Polynesia ini. Kalau betul ukurannya adalah ras, maka tentunya konsep Melanesia Raya harus juga meliputi Maluku, NTT dan Timor Timur. Iklim kebebasan berpendapat dan berserikat yang begitu bebas di Papua Niugini memungkinkan orang-orang Papua Barat di sana berdiskusi secara terbuka, menyebabkan mereka akhirnya pecah menjadi tiga kelompok. Mereka hanya bisa bersatu saat main bola.

Jadi, berbicara soal HAM, berarti kita tetap membuka kemungkinan untuk orang lain juga boleh berbicara soal negara Papua Barat. Itu memang konsekwensi. Sama juga, kita tidak boleh meniadakan -- ini lebih sulit bagi kita yang Kristen -- hak orang untuk berbicara tentang negara Ialam. Dari teman-teman saya yang Islam, persoalan apa itu negara Islam pun, ada sekian banyak interpretasi. Seorang Nurcholis Madjid mengatakan, negara yang

menjalankan prinsip-prinsip Islam, yaitu tunduk kepada Tuhan, itulah sebuah

Negara Islam. Ini aliran hakiki. Ada lagi melihat negara Islam sebagai negara di mana semuanya diatur menurut Hukum Islam. Kita masih bisa bertanya, apakah yang disebut Hukum Islam itu? Apakah dia Hukum Islam yang sesungguhnya atau Hukum Arab.

Misalnya, hukum potong tangan, apakah itu diatur dalam Qur'an, Hadist ataukah dalam yurisprudensi Arab? Pendapat ini masuk dalam aliran legalistik. Intinya bahwa konsepsi tentang negara Islam harus didiskusikan secara terbuka.

Juga tentang konsep negara Melanesia, masih banyak yang harus dibicarakan. Misalnya, apakah negara itu akan menganut sistem ekonomi kapitalis atau sosialis, dan apakah struktur kenegaraannya unitaris atau federalis. Kelemahan kita sekarang ini adalah karena ini semua tidak boleh didiskusikan. Akhirnya orang menjadi lari ke perjuangan-perjuangan

bersenjata, di mana bullet (peluru) menggantikan ballot (kotak suara), itulah hukum sejarah.

Menurut saya, kita harus menumbuhkan demokrasi di Indonesia dan leluasa berdebat tentang hal itu. Inilah yang dikatakan Buyung berlangsung di Sidang Konstituante. Di sana orang berdiskusi dan berdebat dalam suasana toleransi yang tinggi, tetapi begitu dimacetkan, Komunis dibantai dan Islam dijadikan bahaya. Ini yang merusak Indonesia, banyak dilahirkan cara artifisial untuk membuat pihak yang berbeda dari segi agama, warna kulit dan idiologi merasa bahwa perbedaan itu merupakan maksiat yang harus dihilangkan.

Inilah cara berpikir militer. Saya pernah berdebat sama intel yang dating kerumah saya di Abepura (Jayapura) dia bilang, "Anda harus hati-hati menghadapi ini, menghadapi itu dan segala macam". Saya balik mengatakan, "pak, logika militer dengan logika sipil berbeda!" Dia heran: "Lho, perbedaannya di mana?" Jawab saya: "Militer punya logika, anda harus

mencurigai semua orang sampai terbukti bahwa orang yang bersangkutan bias dipercayai. Logika sipil begini, anda harus percaya semua orang sampai anda "ketanggor" (terbukti bahwa orang yang bersangkutan tidak bisa dipercayai, tidak bisa dijadikan kawan lagi!")." "Oh Begitu!" jawab sang intel. Makanya saya menegaskan lagi: "iya , Bapak dari tadi mengatakan hati-hati pada Yance Hembring, hati-hati sama si ini, hati-hati sama si itu. Mereka itu OPM!" Saya lanjutkan: "Kalau begitu, seluruh orang Papua itu OPM, pak!" Dia

pasti mengganggap saya bukan orang Jawa yang benar, sebab orang Jawa yang benar -- dalam kacamata tentara tadi -- adalah orang Jawa yang patut mencurigai orang-orang papua.

Kalau tidak keliru, Agu tadi menanyakan, "Apakah yang diinginkan oleh pemerintah Indonesia sehingga selalu menekan hak-hak asasi manusia Papua!" Begitu?

Jawabannya itu tadi, yakni fanatisme yang terlalu berpegang bahwa Indonesia itu final. Sehingga upaya berpikir dan mencoba memperjuangkan hal lain oleh orang Papua, merupakan perbuatan terkutuk. Seperti yang diekspresikan Tom Wanggai dan pengikutnya dengan mengibarkan bendera Melanesia Barat. Karena itu merusak jerih payah yang sudah diperjuangkan dengan darah.

Persoalannya, darah berbicara di berbagai front. Orang Indonesia berjuang melawan Belanda dengan darah. Itu menyebabkan morang Indonesia tidak bisa mentolerir segala macam peluang separatis. Hantu separatisme ini menjadi kacamata yang dipakai untuk melihat semua gejolak yang lain. Semua ekspresi politik orang Papua langsung diartikan sebagai separatisme. Tidak peduli itu ekspresi orang kampung atau orang kampus, orang desa atau orang kota, persoalan menyangkut ide negara atau persoalan babi penduduk yang ditembaki oleh tentara di Paniai dan Oksibil. Dan separatisme berarti dosa berat,

dosa sakrilegi, yang ganjarannya, dalam bentuk yang paling ekstrim, adalah hukuman mati.

Kedua, orang-orang yang dekat dengan kekuatan-kekuatan ekonomi yang berbasis di Jawa, lebih senang melihat Papua Barat hanya dari kacamata sumber daya alam minus manusianya. Dugaan saya adalah bahwa statistik Papua Barat, selama puluhan tahun sudah dipermainkan. Bahwa jumlah orang Papua cuma sekian. Saya tidak percaya pada statistik itu. Pengamatan saya terhadap salah seorang petugas sensus di Mamberamo yang konon jadi korban OPM ikut memperkuat hal ini. Angka statistik penduduk Papua Barat hanya akan benar, kalau angka yang dikumpulkan oleh pemerintah diverifikasi dengan angka yang dikumpulkan oleh semua gereja yang ada di Papua Barat. Sebab sistem pencatatan cacah jiwa gereja jauh lebih baik, orang yang lahir, kawin, dan mati, pasti akan tercatat, andaikata dikumpulkan data dari gereja, kemudian dibandingkan dengan data yang ada di BPS (Biro Pusat Statistik), saya khawatir akan tampak ketidakcocokan yang luar biasa.

Tapi mitos bahwa Papua Barat itu kosong, hampir tidak ada penduduknya, itu diperlukan karena Papua Barat dipersiapkan sebagai koloni dari sudut ekonomi. Papua Barat diperlukan sebagi daerah kosong di mana bisa menaruh kelebihan penduduk dari Jawa, dan di mana sumber daya alamya bisa diambil. Permainan statistik ini, bukan hal yang baru dalam sejarah. Israel telah melakukan pemalsuan statistik pada orang-orang Palestina di wilayah Palestina. Edward Said, seorang Palestina beragama Kristen yang jadi Profesor di Amerika, telah membuat penelitian dan menemukan ketidakcocokan data statistik pemerintah Israel ini. Tapi mitos bahwa Kanaan ini tanah kosong yang sudah ditunjukan sebagai Tanah Perjanjian bagi orang-orang Yahudi dan Eropa, itu diperlukan. Mengapa? Sebab apabila ketahuan bahwa penduduknya banyak, maka dari awal sudah bisa dibayangkan konflik-konflik yang bakal muncul, dan betapa tidak mudahnya menggeser penduduk asli.

Jadi Papua Barat diperlukan sebagai koloni dari segi ekonomi, karena strategi pembangunan kita adalah strategi center-periphery. Daerah pinggiran yang menunjang industrialisasi di pusat. Demikianlah, strategi ekonomi kita memang melegitimasikan bahwa Papua Barat harus dikuras. Dan untuk dapat dikuras dengan bebas daerah itu harus dianggap berpenduduk sedikit. Semua hal yang bertentangan dengan ini, dilihat sebagai gangguan dalam kacamata militer. Yang mengganggu sama dengan subversif, dan yang

subversif itu sah untuk dieliminasi. Cara eliminasinya bisa berwujud fisik

atau pun kultural.

Itu yang dianalisis oleh Fanon. Pada saat penjajah tidak bisa lagi meniadakan penduduk jajahannya secara fisik, dia kemudian mengeliminir mereka secara kultural, dengan mengatakan bahwa mereka tidak punya kebudayaan, atau dengan dalih bahwa kebudayaan mereka lebih rendah. Jadi mitos tentang koteka, Zaman Batu dan lain-lain itu, memang sengaja dipupuk karena mendukung cara berpikir penguasa.**

KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI PAPUA BARAT 1 komentar

*) John Rombiak

Pengantar Di Papua Barat akhir-akhir ini diberitakan terjadi berbagai kekerasan negara yang berakhir dengan pelanggaran hak asasi manusia sebagai respon terhadap berbagai aksi yang dilakukan rakyat Papua Barat untuk menuntut PAPUA BARAT MERDEKA. Aksi-aksi tersebut sebagai protes terhadap pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri yang melibatkan masyarakat internasional. Suatu sikap yang menurut rakyat dapat mengakhiri penindasan di tanah Papua serta tindakan untuk menyelamatkan bangsa Papua dari suatu proses pemusnahan. Mulai dari kasus ‘Biak Berdarah Juli 1998’, ‘Insiden Merauke Oktober 1999’, ‘Timika Berdarah Desember 1999’, ‘Insiden Nabire Februari/Maret 2000’, sampai dengan ‘Peristiwa Wayati Fakfak Maret 2000’ serta ‘Insiden Sorong Agustus 2000’ (dan tentu saja masih akan terjadi peristiwa-peristiwa berdarah serupa di waktu-waktu ke depan jikalau situasi ini tidak berubah). Puluhan orang telah dibunuh, ratusan ditahan secara sewenang-wenang dan disiksa serta belasan lainnya dinyatakan hilang. Itu semua bukan ceritra baru. Pengalaman selama 38 tahun (1963 – 2000) integrasi dengan Republik Indonesia dengan berbagai operasi militer yang dilakukan telah berakhir dengan ribuan orang Papua dibantai, ditangkap dan dipenjara secara sewenang-wenang dan disiksa, perempuan-perempuan diperkosa. Semua ‘Crime Against Humanity in West Papua’ itu dibuat demi Persatuan Nasional dan Pembangunan.

Paper ini akan mencoba menjawab sejumlah pertanyaan menyangkut mengapa ada terjadi terus ‘Crime Against Humanity in West Papua’, Implikasi yang ditimbulkan terhadap rakyat dan mengajukan beberapa rekomendasi pemecahan. Persepsi Nasional tentang Papua Barat

Kebijakan apapun yang diambil oleh suatu pemerintah di manapun di dunia ini terhadap suatu kelompok masyarakat yang dikuasai tidak terlepas dari PERSEPSI yang ada pada si penguasa. Persepsi itu terbangun dari latar belakang kebudayaan, sejarah dan keinginan-keinginan juga kekhawatiran-kekhawatiran bagaimana kelompok masayarakat yang ditargetkan itu mesti diatur. Frantz Fannon, Seorang psikiater asal Caribia yang kemudian mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Aljazair dari penjajah Perancis berpendapat bahwa penjajahan didukung oleh teori-teori kebudayaan yang rasialis. Kaum penjajah beranggapan bahwa kelompok masyarakat yang dijajah tidak berkebudayaan atau kebudayaannya rendah dan oleh karena itu berbagai kebijakan dilakukan untuk memperadabkan sekaligus menaklukkan kelompok masyarakat tersebut.

Dalam kaitan masalah Crime Against Humanity in West Papua tidak bisa dilihat lepas dari suatu PERSEPSI PEMERINTAH INDONESIA terhadap rakyat dan tanah Papua Barat. Pemerintah Indonesia memandang Papua Barat adalah wilayah integral dari Indonesia yang telah direbut dengan darah melalui Komando Trikora di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, mantan presiden RI yang otoriter. Papua Barat juga dilihat sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dapur masa depan Indonesia. Dalam suatu ceramah di Aula Universitas Cenderawasih di Jayapura tahun 1983 Ali Murtopo, mantan menteri Penerangan pada waktu itu mengatakan: “Irian Jaya adalah dapur masa depan Indonesia”. Tetapi Pa pua Barat juga dipandang sebagai wilayah di mana berlangsung apa yang oleh Jakarta disebut sebagai ‘Gerakan Separatis’ yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Penduduk asli, bangsa Papua, di wilayah ini dipandang sebagai ‘primitif’ dan terbelakang sehingga mereka mesti diperadabkan.

Persepsi pemerintah tersebut mendasari lahirnya dua kebijakan utama dalam menangani Papua Barat, yaitu militerisme dan kebijakan-kebijakan pembangunan (transmigrasi, keluarga berencana, turisme, pertambangan, pertanian, dll). Semua itu dilakukan demi persatuan nasional dan pembangunan. Kebijakan-kebijakan ini selanjutnya “melegalkan” terjadinya ‘Crime Against Humanity in West Papua dewasa ini.

Perang terhadap Orang Papua dan Implikasinya: Jiwa yang Patah

Sejak integrasi Papua Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1963 “perang” pun digelar melawan bangsa Papua. Gerakan Papua merdeka (OPM) menjadi alasan bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) – sekarang TNI pisah dari POLRI, untuk melancarkan operasi-operasi militer di berbagai wilayah di Papua Barat. Secara garis besar akan digambarkan beberapa peristiwa besar yang telah berakibat terhadap terjadinya ‘Crime Against Humanity in West Papua’:

Periode 1963 – 1969

Masa transisi di mana sesudah kedaulatan Papua Barat, berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962, dilimpahkan dari Pemerintah Belanda ke Pemerintah Indonesia dan persiapan menuju ke apa yang disebut “Act of Free Choice” pada tahun 1969. Pada masa ini pemerintah dan angkatan bersenjata Republik Indonesia memasukkan ribuan aparat keamanan dan petugas-petugas pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat Papua Barat menjadi bagian integral dari Republik Indonesia bilamana ‘Act of Free Choice’ terjadi. Rakyat diintimidasi, terjadinya penangkapan dan penahanan di luar hukum, pembunuhan-pembunuhan. Akibatnya hanya 1025 saja dari total 800.000 rakyat Papua waktu itu yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia untuk secara terpaksa memilih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Periode 1970 – 1984

Perlawanan rakyat Papua yang memprotes hasil ‘Act of Free Choice’ dalam bentuk berdirinya ‘Organisasi Papua Merdeka’ (OPM) menjastifikasi berlangsungnya operasi-operasi militer di wilayah-wilayah yang diidentifikasi sebagai kantong-kantong gerakan OPM. Ribuan pasukan militer diturunkan di wilayah-wilayah tersebut, kebebasan rakyat dipasung dan pembantaian terhadap rakyat pun digelar. Operasi-operasi militer tersebut antara lain: Kasus Biak (1970/1980); Kasus Wamena (1977) dan Kasus Jayapura (1970/1980). Kasus 1984 di mana Arnold C. Ap dan Eduard Mofu, dua seniman Papua dibunuh dan 12 000 penduduk kemudian mengungsi ke Papua New Guinea.

Periode 1985 – 1995

Operasi militer untuk menumpas OPM terus dilancarkan aparat keamanan, terutama di kawasan pegunungan tengah Papua Barat. Dari semua peristiwa yang terjadi ‘Kasus Timika 1994/1995’ yang melibatkan PT. Freeport Indonesia yang dilaporkan Keuskupan Gereja Katolik Jayapura di mana 16 orang dibunuh, 4 orang hilang dan puluhan lainnya ditahan dan disiksa serta 5 perempuan ditahan dan diperkosa.

Periode 1996 – 1998

Operasi militer menumpas OPM pimpinan Kelly Kwalik yang menyandera para ilmuwan barat di wilayah Mapnduma, Pegunungan Tengah Papua Barat dalam jangka waktu 1996 – 1998. Menurut ELS-HAM Papua Barat (Mei 1998) Drama penyanderaan ini menjadi alasan bagi pihak militer Indonesia untuk kemudian melanarkan operasi militer baik pada masa penyanderaan, operasi pembebasan sandera dan pasca pembebasan sandera di mana sekitar 35 penduduk sipil dibunuh, 13 perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk dan 13 gereja (Gereja Kemah Injil Indonesia) dibakar musnah.

Periode 1998 – 2000

Sejak tumbangnya Presiden Suharto pada bulan Mei 1998 berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Papua Barat yang melakukan hak kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Papua Barat (Bintang Fajar) di berbagai kota di Papua Barat.

Berbagai ‘Crime Against Humanity in West Papua’ tersebut mempunyai implikasi baik psikologis, social, budaya and ekonomi terhadap diri bangsa Papua. Mereka mengalami Jiwa yang Patah (hilang percaya diri, frustrasi, apatis, mengendapkan dendam dan kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita). Secara social rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama lain. Suatu kenyataan yang, selain berbagai factor lainnya, juga melatar-belakangi mengapa rakyat Papua dewasa ini menuntut untuk melepaskan diri dari Negara Kesatun Republik Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Masalah ‘Crime Against Humanity in West Papua’ pada dasarnya terjadi karena ada suatu persepsi nasional yang bersifat rasis, eksklusif dan penuh kecurigaan terhadap keberadaan orang Papua. Persatuan nasional dan pembangunan telah menjadi dalih yang sangat kuat untuk lahirnya militerisme di Papua Barat yang telah menyebabkan terjadinya ‘Crime Against Humanity’. Semua ‘Crime Against Humanity in West Papua’ telah menyebabkan terjadinya rakyat Papua yang mengalami ‘A Broken Soul’.

Pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia mesti membebaskan diri dari pandangan rasis, eksklusif dan curiga terhadap orang Papua. Orang Papua mesti diakui sebagai suatu kelompok masyarakat yang secara ras berbe da dengan bangsa Indonesia lainnya serta mesti diterima sejajar dengan yang lainnya.

Pendekatan militer di Papua Barat mesti segera diakhiri karena telah menyebabkan terjadinya berbagai ‘Crime Against Humanity’ dan jikalau terus dipertahankan untuk menangani masalah Papua Barat dewasa ini justru akan menimbulkan masalah-masalah baru yang rumit dan sulit untuk diselesaikan.

Pemerintah Indonesia mesti memiliki kemauan politik yang sungguh-sungguh dan didukung oleh semua pihak untuk mempertanggungjawabkan berbagai ‘Crime Against Humanity’ dengan membawa keadilan remedy kepada rakyat Papua Barat, Rekonsiliasi dan Perdamaian. Justice ini penting untuk memulihkan secara psikologis penderitaan korban atau keluarga korban selama bertahun-tahaun mengalami penderitaan, tetapi juga sebagai proses law enforcement, menanamkan kultur supremasi hokum di atas segala kepentingan.

Proses rehabilitasi, terutama healing proscess melalui berbagai bentuk kegiatan untuk membebaskan rakyat secara psikologis dari beban trauma, dendam dan kebencian yang diendapkan dari pengalaman buruk yang dialami.

Membangun kultur penghormatan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi melalui berbagai bentuk pendidikan HAM dan Demokrasi-

*)Penulis adalah aktivist di ELSHAM, Papua

PEMBUNUHAN BERANTAI PAPUA PASCA PENAHANAN KETUA DEWAN MUSYAWARAH MASYARAKAT KOTEKA (DEMMAK)DI KEPUNG PASUKAN TAK DI KENAL DENGAN DALIH KEAMANAN 0 komentar

Proses Pembunuhan Berantai Terhadap Pimpinan Rakyat di West Papua.

1.Arnold.C.AP . Dibunuh pada tahun 1984 Oleh Pasukan KOPASANDA (KOPASUS sekarang) dengan Isyu Peti Mayat Terbang di Abepura/Jayapura Papua.

2.Dr.Thomas Wapai Wainggai. Dibunuh pada tahun 1996 di penjara Cipinang,JAKARTA. Ketika Dr.Thom Masih dalam tahanan LP Abepura Isyu yang di keembangkan adalah Kalarce yang menyamar sebagai perempuan malam yang bangkit dari kuburan di serui,yang bergentayangan di Imbi dan Lingkaran.Kemudian Sebelum Jenasahnya di berangkatkan ke Jayapura (Papua),dari LP CIPINANG,
Isyu yang di kembangkan adalah SUMIYATI si pembalas dendam dari JAWA melaui pelacuran, yang gentayangan di Jayapura dan Lingkaran pada malam hari untuk memenuhi nafsu birahinya (sexsual reed)

3.Hans Bomay & Welem Onde. Dibunuh pada tahun 2000 dengan Isyu Kesepakatan Gencatan Senjata antara TPN/OPM dan TNI/ABRI.

4.Theys Hio Eluay. Dibunuh Pada tahun 2001 dengan Isyu DRAKULA Bergentayangan di Abepura/Jayapura PAPUA.

PEMBUNUHAN DENGAN POLA PENDEKATAN (PEMBUNUHAN SECARA TERHORMAT DAN SISTEMATIS)

1.Yusuf Tanawani di bunuh pada Tahun 200/2001, Sepulang dari Jakarta (jawa)

2.Sam Kapisa di bunuh pada tahun 1999/2000, di salah satu Hotel berbintang di Jakarta, ketika beliau menghadiri pertemuan yang di selenggarakan oleh Pemerintah Pusat (Jakarta)

3.Yafeth Yelemaken di bunuh secara sistematis di Bali pada Tahun 2002, Sepulang menghadiri Pertemuan Barisan Pemuda Pancasila Indonesia dan wafat di Wamena Pada tanggal 21 Junny 2002.

TARGET BERIKUTNYA (Tiga (3). SetanMerah)

1.Taha Al,Hamid, Pdt.Herman Awom, Agus Alua, Dengan Isyu yang diciptakan yaitu KAMBING BERKEPALA MANUSIA berkeliaran di Jayapura, Abepura dan sekitarnya.

2.Tom Beanal, Mm.Yosepha Alomang, Dengan Isyu KOMODOR TERBANG, Di Timika.

3.Ibu/Nyonya Yakomina Isir, dan Panel Sorong dengan Isyu yang di ciptakan yaitu PENYERANGAN di SORONG. (tidak jelas siapa menyerang siapa).


SANGGAHAN.” PAPUA DI KEPUNG PASUKAN TAK DI KENAL”

1.Ada Bisnis apa di balik Penempatan Pasukan TNI AD (Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Darat) di Papua ???, Yang di datangkan dari Medan Sumatra Utara dengan Pesan KOMANDO “Kamu pergi/diutus ke Papua utk berperang” dst.seperti yang di lansir Cendrawasi Post tgl 28 Mey 2002.

2.Mengapa dan Untuk apa Pemerintah menempatkan Tiga pulu (30) Pleton TNI AD yang di datangkan dari Medan Sumatra di daerah Perbatasan ???

3.Mengapa Post-Post Militer di bangun di setiap kampung ??? seperti Waris,Ubrub,Senggi,Depapre, dan di semua wilayah di papua yang di anggap rawan (sarang OPM).

4.Mengapa dan Untuk apa Pasukan Jihat di tempatkan di setiap Mesjid di Papua Barat ???

5.Mengapa dalam melaksanakan tugas Operasi/Pengamanan Istilah KOPASUS diganti dengan Istilah BRIMOP ???

6.Mengapa TNI disebarkan di seluruh Kampus (Perguruan tinggi Negeri maupun Swasta) dengan berbagai dalih ???

7.Apa Hubungan Semua ini Dengan OPERASI MATOA 2002..?

8.Mengapa DPRD Provinsi Papua membungkam dari kenyataan ini ???

9.Mengapa Benny Wenda dan Jaringannya menjadi Tolak Ukur untuk mengadakan Expansi Militer di Papua Barat ???


APUA BARAT DI AMBANG
KEHANCURAN/PEMBANTAIAN.”SIAPAKAH YANG MAMPU
MEMBINASAKAN PARA PENBINASA ........???”




AMP-I. NUMBAY REPORTING


L.B.MOERDANI. KWILLA.